Buatku, Gontor lebih dari sekedar sekolah dan tempat menuntut ilmu.
Lebih dari sekedar sebuah pesantren dengan gedung-gedung megah yang
bertingkat. Juga lebih dari sekedar (kata orang awam) sebuah tempat
dimana agama diajarkan lebih intensif. Bahkan kalau lebih parah, tempat
pembuangan anak-anak nakal yang sulit diatur, dan punya track record
kurang baik di lingkungannya. Tapi tidak, Gontor bukan itu.
Untuk
orang yang hanya sekedar melihat Gontor dari luar, dari kulitnya saja,
akan punya pikiran kalau Gontor itu sekolah, pondok yang 'mewah',
'mahal', 'ketat'. Dan memang, Gontor memang begitu. Ini adalah pondok
yang 'mewah' filsafat, panca jiwa, dan motto pondoknya. 'Mahal'
pendidikannya, disiplinnya, dan kehidupan dinamis yang selalu ada
didalamnya. Gontor juga 'ketat' seleksi alamnya, mereka yang tak punya
nyali, mental kuat dan azimah, akan terpental. Oleh pondok, ataupun
hilang sendirinya. Ini adalah surga, inilah sepotong 'Darussalam' di
bumi.
Pondok ini adalah miniatur kehidupan. Kita hidup dalam tingkatan sosial yang begitu majemuk, complicated,
tapi harmonis dan penuh rasa ukhuwwah. Lihat saja, tak banyak dalam
kehidupan nyata orang-orang hidup dalam sosial yang se-majemuk Gontor.
Cobalah tengok kamar-kamar, mereka yang tinggal ditiap kamar, berasal
dari berbagai macam daerah di Indonesia. Tak ada ceritanya orang
sedaerah duduk bersama, tinggal bersama dalam satu kamar. Kalaupun ada,
paling hanya 2-3 orang saja. Tapi nyatanya, tak ada cekcok, selisih
antara santri. Tak ada sentimen kedaerahan, golongan ataupun ras disini.
Disini hanya ada satu rasa, yang tertanam dalam pikiran, hati dan
langkah kita: Rasa Gontory. Rasa yang membuat kita begitu mudah
saling memahami teman, saling merangkul kawan, meski berbeda. Betapa
luarbiasanya anak Gontor yang punya banyak teman dari berbagai daerah.
Hampir
90 tahun Gontor berdiri. Kalaulah dia manusia, Gontor bagaikan seorang
kakek yang penuh dengan sejarah. Goresan tinta emas, ukiran ornamen
prestasi begitu banyak ditorehkan lewat 'anak-cucu'-nya. Anak-anak
Gontor yang mampu hidup dan bermanfaat di masyarakat, anak-anak Gontor
yang mampu memberikah perubahan di tanah dimana ia berpijak, anak-anak
Gontor yang kata orang, 'berbeda' dan mampu membuat perubahan, meski tak
semua. Hal itu memberikan kebanggaan tersendiri, bahwa Gontor, selama
90 tahun selalu berusaha untuk membantu masyarakat, ummat, dan bangsa
ini. Bukan dengan perang, bukan dengan politik, dan bukan dengan demo.
Gontor berjihad fisabilillah dari hal paling esensial dan mendasar, yang
kadang ummat lupakan saat ini: pendidikan.
Pendidikan
Gontor-lah yang membentuk orang-orang besar, kader-kader ummat,
calon-calon pemimpin di masa depan. Kita harus ingat, bukan gubernur,
menteri, ataupun presiden yang menjadi orang besar menurut Gontor. Orang
besar adalah orang yang mau mengajar, walaupun di surau kecil, dengan
tulus dan ikhlas, bermanfaat bagi orang disekitarnya. Itu jiwa yang
ditanamkan Gontor. Keikhlasan, qana'ah, berbesar hati, bukan mengejar
ambisi. Tapi, dari hal kecil inilah, lahir manusia-manusia yang hati dan
jiwanya besar, daya juang dan jihadnya bagai tak ada habisnya, di tiap
lini kehidupan, sesuai dengan 'ukuran' dan 'maqam'-nya masing-masing.
Ah,
begitu banyak yang harus aku tulis kalau ingin bercerita tentang
Gontor. Tak cukup satu-dua lembar, butuh berbuku-buku untuk
menguraikannya. butuh berbulan-bulan untuk menuliskannya, bahkan mungkin
bertahun-tahun. Nanti di note-note selanjutnya akan kutulis lagi. Inshaallah.
Tapi mungkin, ini bisa menjelaskan: Gontor adalah pondok kehidupan, itu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar